Pembuktian atas Kebenaran Kristus (The Case for Christ)

PembuktianAtasKebenaranKristusKemarin saya berkesempatan pergi ke toko buku. Di sana saya senang sekali menemukan bahwa buku The Case for Christ karya Lee Strobel telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Pembuktian atas Kebenaran Kristus: Investigasi Pribadi Seorang Jurnalis atas Bukti tentang Yesus (Pondok Cabe, Pamulang: Gospel Press, 2013).

Seperti yang tertera pada judul buku di atas, Lee Strobel dulunya adalah seorang jurnalis di Chicago Tribune yang sekarang melayani sebagai Gembala Pengajar (Pastor Teaching) di Willow Creek Community yang Gembala Seniornya adalah Bill Hybels. Strobel bukanlah orang percaya pada awalnya. Sebaliknya ia dulu adalah seorang yang sangat skeptis terhadap iman Kristen.

Sebagai seorang skeptis, Strobel tidak begitu saja menerima kebenaran iman Kristen. Yang menarik adalah skeptisismenya menuntun dia untuk melakukan “perburuan” terhadap argumen-argumen terbaik yang mendukung klaim-klaim Kekristenan mengenai Kristus.

Saya berniat untuk memberikan ulasan ringkas mengenai setiap bab isi buku ini dalam catatan-catatan saya berikutnya di blog ini. Bagi saya, pokok-pokok yang dibahas dalam buku ini begitu penting karena di dalamnya kita bukan hanya menemukan klaim-klaim mengenai Kristus, namun juga yang terpenting adalah argumen-argumen historis yang layak dipertimbangkan secara serius oleh siapa pun.

Sebagai sebuah tinjauan umum, saya perlu memberikan gambaran mengenai keseluruhan isi buku ini. Buku ini terdiri atas tiga bagian besar yang mengandung 14 bab dan diakhiri dengan sebuah kesimpulan. Untuk setiap babnya, Strobel mewawancarai satu sarjana yang dinilai berkompeten memberikan argumen yang mendukung klaim Kristen. Berikut adalah para sarjana Kristen yang diwawancarai Strobel:

  • Craig L. Blomberg (Profesor Perjanjian Baru di Denver Seminary) diwawancarai tentang kehandalan historis Kitab-kitab Injil.
  • Almarhum Bruce M. Metzger (Profesor PB di Princeton Theological Seminary) diwawancarai tentang kehandalan tekstual PB.
  • Edwin M. Yamauchi (Profesor dalam bidang Studi-studi Mediterania, bahasa asli Alkitab dan kebudayaan Helenistik) diwawancarai tentang bukti-bukti koroboratif (bukti-bukti yang meneguhkan atau mendukung elemen-elemen esensial dari laporan seorang saksi mata).
  • John McRay (Profesor yang bidang kekhususannya adalah Arkheologi PB di Wheaton College) diwawancarai tentang bukti-bukti arkheologis yang mendukung kebenaran Kitab-kitab Injil mengenai Yesus.
  • Gregory A. Boyd (Profesor Teologi di Bethel College) diwawancarai tentang propaganda Seminar Yesus (The Jesus Seminary) mengenai Kitab-kitab Injil.
  • Ben Witherington III (Profesor Perjanjian Baru di Asbury Theological Seminary) diwawancarai tentang kesadaran Yesus akan diri-Nya sebagai Anak Allah.
  • Gary R. Collins (Profesor Psikologi di Trinity Evangelical Divinity School) diwawancarai tentang bukti-bukti psikologis mengenai Yesus.
  • D.A. Carson (Profesor PB di Trinity Evangelical Divinity School) diwawancarai tentang sifat-sifat ketuhanan yang dimiliki Yesus.
  • Louis S. Lapides (Profesor Teologi di Biola University) diwawancarai tentang kemesiasan Yesus.
  • Alexander Metherell (Profesor  di University of California) diwawancarai tentang analisis dari perspektif medis mengenai kematian dan kebangkitan Yesus.
  • William Lane Craig (Profesor di The Higher Institute of Philosophy di The University of Louvain) diwawancarai tentang bukti-bukti historis mengenai kebangkitan Yesus.
  • Gary Habermas (Profesor apologetika di Fakultas Filsafat di Liberty University) diwawancarai tentang bukti-bukti mengenai penampakan diri Yesus pasca kebangkitan-Nya.
  • J.P. Moreland (Profesor di The Talbot School of Theology) diwawancarai tentang bukti-bukti tak langsung yang mendukung fakta-fakta kebangkitan Yesus.

Dengan kandungan argumen-argumen dari para pakar di atas, bila ada sebuah buku yang pernah memperlihatkan kepada dunia mengenai nilai penting bukti-bukti historis dari iman Kristen, khususnya mengenai Yesus Kristus, maka inilah buku terbaik yang saya rekomendasikan bagi siapa pun (yang saya maksudkan adalah siapa pun, tidak peduli apa pun latar belakang keyakinannya) untuk membaca dan mempertimbangkan isi buku ini. Bagi orang-orang Kristen di Indonesia, tentu saja, saya sangat mendorong agar buku ini dibaca sehingga kita tidak diombang-ambingkan oleh mitos-mitos yang memakai jubah akademis untuk merekayasa Yesus yang diajarkan Kitab-kitab Injil demi memenangkan perhatian kita. Bagi saya, buku ini mewakili sebuah upaya pembongkaran mitos-mitos yang bertebaran di sekitar studi akadamis-historis mengenai Yesus Kristus yang dilakukan secara berbobot dan tidak dapat dipandang enteng.

Singkatnya, dikotomi Yesus sejarah dan Yesus iman merupakan sebuah mitos belaka! Yesus yang sebenarnya adalah Yesus yang diajarkan oleh PB: Anak Allah, Mesias, mati disalibkan, dikuburkan, bangkit, menampakkan diri, dan naik ke sorga kembali kepada Bapa yang telah mengutus-Nya ke dalam dunia supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Di luar dari gambaran ini, Anda semata-mata menikmati sebuah fantasi, bukan kebenaran!

Reviewer: Deky Hidnas Yan Nggadas. Direblog dengan ijin (klik di sini)

Perspectives on the Ending of Mark: 4 Views

Beberapa waktu lalu saya membaca buku yang berisi diskusi mengenai originalitas bagian akhir Injil Markus, khususnya Markus 16:9-20 [selanjutnya akan disingkat: LE – kepanjangan dari The Longer Ending]. Buku yang saya maksud adalah: Perspectives on the Ending of Mark: 4 Views, ed. David Alan Black (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman Publishers, 2008). Sebagaimana judulnya, buku ini memuat presentasi empat pandangan yang berbeda mengenai keaslian LE. Pandangan-pandangan ini bisa diringkas, sebagai berikut:

  1. Daniel B. Wallace – Markus menghendaki Injilnya diakhiri pada pasal 16:8, sedangkan LE tidak original;
  2. Maurice A. Robinson – LE adalah bagian asli dari Injil Markus;
  3. J.Keith Elliott – LE tidak original, namun berbeda dengan Wallace, Elliot percaya bahwa lanjutan untuk bagian akhir Injil Markus telah hilang.
  4. David Alan Black – LE adalah tambahan dari Markus sendiri terhadap materi-materi sebelumnya yang berasal dari khotbah Petrus.

Wallace dan Elliot percaya bahwa LE tidak original, hanya saja keduanya berbeda dalam jawaban terhadap pertanyaan: Apakah masih ada lanjutan yang seharusnya menempati posisi LE? Wallace menjawab tidak, karena memang Markus menghendaki Injilnya diakhiri pada pasal 16:8. Elliot menjawab ya, namun LE yang sesungguhnya telah hilang.

Di sisi lain, Robinson dan Black percaya bahwa LE adalah bagian original dari Injil Markus. Namun, keduanya berbeda dalam hal sumbernya. Robinson percaya bahwa LE berasal dari Petrus, sementara Black percaya bahwa LE merupakan suplemen dari Markus terhadap khotbah-khotbah Petrus yang ia hitamatasputihkan dalam Injilnya.

Membaca presentasi keempat pandangan di atas, memberikan stimulasi yang positif untuk mempertimbangkan posisi saya dalam hubungan dengan isu ini. Saya memberi perhatian cermat atas seluruh klaim dan argumen mereka masing-masing. Karena isu ini mengandung implikasi yang amat penting, bukan hanya bagi kaum akademisi, melainkan juga bagi para praktisi pastoral. Mis. bila LE tidak original, maka seharusnya teks ini tidak dijadikan acuan doktrinal maupun nasihat-nasihat pastoral. Dan masih banyak isu implikatif lainnya.

Tidak jarang, orang menganggap diskusi-diskusi semacam ini tidak bermanfaat atau mungkin juga dianggap hanya memperkeruh persoalan yang sebenarnya bisa dipahami secara sederhana. Tidak demikian. Iman kita berakar di dalam pewahyuan yang diberikan Allah pada satu masa atau konteks jaman tertentu. Itulah sebabnya, iman kita adalah iman yang berakar juga di dalam sejarah. Isu-isu kesejarahan seperti ini, tidak boleh disepelekan, karena seperti yang sudah digambarkan di atas, bagaimanapun ia akan memberikan dampak pada pelayanan kita, kapan saja dan di mana saja.

Kembali kepada keempat pandangan di atas. Isu ini sudah cukup tua dan sudah sering pula didiskusikan. Saya sendiri sudah cukup lama mempertimbangkan isu ini dan membaca banyak sumber mengenainya. Karena keterbatasan ruang, saya tidak berniat mengemukakan argumen-argumen yang mewakili posisi saya. Namun, setelah membaca presentasi keempat sarjana di atas, bila harus memilih, saya lebih dekat dengan posisi Elliott, tentunya dengan sedikit tambahan variatif. Singkatnya, saya percaya bahwa LE tidak original namun isinya bisa ditelusuri pada bagian akhir Injil kanonik lainnya yang mengikuti Markus.

Reviewer: Deky Hidnas Yan Ngggadas. Direblog dengan ijin (klik di sini)

Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth

9781400069224_custom-74c1fad03aa8c72c92cb923ce65325c75dd15ea0-s6-c30Pasca publikasi Zealot: The Life and Times of Jesus of Nazareth, Aslan mendapat banyak undangan interview. Salah satunya yang kemudian melahirkan banyak kritik di seputar kredensial Aslan adalah pernyataannya mengenai informasi profesi dan latar belakang akademisnya saat diwawancarai oleh Fox News. Banyak pihak yang menilai bahwa Aslan memberikan informasi yang tidak tepat mengenai latar belakang akademis serta profesinya.

Meski demikian, kritikan-kritikan di seputar kredensial Aslan, menurut saya, tidak substansial dan bisa memimpin kepada genetic fallacy. Buku ini harus ditanggapi berdasarkan isinya, bukan latar belakang penulisnya.

Mengenai klaim dan argumentasi Aslan dalam buku tersebut, beberapa sarjana atau ahli biblika PB telah memberikan review mereka dan memperlihatkan bahwa buku ini hanya berisi sebuah teori usang yang telah lama dibantah. Aslan hanya membangkitkannya kembali tanpa berinteraksi secara luas dengan literatur-literatur primer dan sekunder yang penting di seputar teori yang ia usung dalam buku tersebut. Beberapa ahli tersebut, antara lain: Craig A. Evans, Larry Hurtado, Greg Carrey, Anthony Le Donne, dan Paul Timothy Penley (Anda dapat menemukan tinjauan para pakar ini di internet).

Saya sependapat dengan isi review dari para pakar di atas. Saya hanya ingin menambahkan bahwa klaim serta argumen Aslan (lih. tinjauan bagian pertama) sebenarnya cukup luas juga digembar-gemborkan oleh banyak orang non Kristen di Indonesia guna mendiskreditkan ajaran Kekristenan. Tetapi, perlu diingatkan bahwa bantahan terhadap klaim tersebut, mis. diskontinuitas antara Paulus dan ajaran/misi Yesus, telah dipublikasikan dan dapat diakses dalam bahasa Indonesia. Mis. buku-buku yang ditulis oleh profesor Ben Witherington III, Apa yang telah Mereka Lakukan terhadap Yesus: Bantahan terhadap Teori-teori Aneh dan Sejarah ‘Ngawur’ tentang Yesus, terj. James Pantou, 2007) dan juga Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace, Mendongkel Yesus dari TakthaNya: Upaya Mutakhir untuk Menjungkirbalikkan Iman Gereja mengenai Yesus Kristus, terj. Helda Siahaan (Jakarta: Gramedia, 2009).

Mengenai sikap metodologis Aslan terhadap PB (khususnya Kitab-kitab Injil) yang menurutnya tidak handal untuk dijadikan acuan bagi penyelidikan tentang Yesus Sejarah, sebenarnya juga merupakan sebuah pendekatan usang yang muncul sejak abad 19 M yang telah berulang-ulang dibantah namun terus muncul. Bantahan akan hal ini, mis. Jakob Van Bruggen, Kristus Di Bumi: Penuturan Kehidupan-Nya oleh Murid-murid dan oleh Penulis-penulis Sezaman, terj. Tim Penerjemah LITINDO (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), khususnya bab 1; Craig L. Blomberg, The Historical Reliablity of the Gospels (Downers Grove, Illinois: IVP Press, 1987); Richard R. Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses Testimony: The Gospels as Eyewitness Testimony (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2006).

Secara teknis, mencermati interaksi literatur per bab dan bibliografi di bagian belakang buku tersebut, terlihat bahwa Aslan tidak melakukan interaksi yang luas dengan sumber-sumber sekunder yang telah ditulis sangat banyak berkenaan dengan isi bukunya. Dan yang paling penting, Aslan sebenarnya tidak berinteraksi dengan satu pun sumber primer mengenai Yudaisme Intertestamental guna mendukung teorinya mengenai dominasi Zelotisme di Palestina pada abad pertama Masehi. Aslan seakan-akan memasang “kacamata kuda” bagi para pembacanya seakan-akan Yudaisme Intertestamental dapat diabaikan diversitas-diversitasnya (mis. penafsiran mengenai Mesias dalam Naskah-naskah Laut Mati; Pseudopigrafa, dan Apokrifa) dan membawa pembacanya hanya melihat gerakan Zelotisme lalu melekatkannya secara prematur bagi misi dan gerakan yang dimulai oleh Yesus.

Aslan memang mengakui bahwa isi bukunya tidak baru; yang baru hanyalah sasaran pembacanya yaitu khalayak non akademisi teologi. Namun, sayangnya, Aslan tidak memberikan pernyataan afirmatif bahwa teorinya sendiri adalah teori yang sangat minor dianut di kalangan para ahli the historical Jesus dan bahwa teori itu sendiri telah lama dibantah. Lalu, mengapa mengulanginya tanpa berinteraksi dengan bantahan-bantahan terhadap teori usang itu? Saya tidak tahu persis. Tapi saya menduga bahwa Aslan sengaja menutup mata terhadap bantahan-bantahan tersebut karena ia telah terlanjur “jatuh hati” terhadap teori itu dan merasa tidak perlu mempedulikan bantahan-bantahan terhadapnya. Bila ini yang terjadi, maka Aslan sebenarnya sedang menjadikan dirinya pengkhayal abad 21 dengan cara mempromosikan dirinya sebagai sejarahwan abad pertama. Ironis.

Akhirnya, saya juga perlu memberikan komentar antisipatif, khususnya bagi orang-orang non Kristen yang telah cukup lama getol menerima teori-teori ngawur semacam ini. Isi buku ini, di satu sisi kelihatannya mendukung eforia penolakan terhadap Kekristenan di Indonesia, mayoritas oleh kalangan Islam. Tetapi, ingatlah bahwa Aslan: a) menolak doktrin kelahiran dari anak dara; b) menolak kemesiasan Yesus [kecuali dalam arti politisnya]; dan c) menerima fakta penyaliban Yesus. Yakinlah, bila Anda seorang Muslim, Anda tidak akan berada di pihak Aslan untuk ketiga hal ini. Kecuali kalau Anda melakukan hal yang sama seperti Aslan, melakukan “cherry-picking” dengan memungut hal-hal yang menguntungkan Anda dan mengabaikan hal-hal yang tidak menguntungkan posisi Anda. Melakukan demikian berarti Anda sedang menggabungkan diri dengan orang-orang yang suka melakukan fantasi teologis.

Reviewer: Deky Hidnas Yan Nggadas. Direblog dengan ijin. (Klik di Sini)

Three Views on the New Testament Use of the Old Testament

Secara garis besar, buku ini terdiri atas pendahuluan yang ditulis oleh Jonathan Lunde. Dalam pendahuluan ini, Lunde memberikan gambaran umum mengenai lima pertanyaan spesifik yang ditanyakan kepada ketiga partisipan tersebut, yaitu: Walter C. Kaiser, Jr., Darrell L. Bock, dan Peter Enns. Kelima pertanyaan tersebut, yaitu: [1] Apakah sensus plenior merupakan cara yang tepat untuk menjelaskan penggunaan PL dalam PB? [2] Bagaimana memahami tipologi secara tepat? [3] Apakah para penulis PB menggunakan PL dengan mempertimbangkan konteks original dari kutipan-kutipan tersebut? [4] Apakah para penulis PB menggunakan metode-metode eksegetis Yahudi dalam menangani kutipan-kutipan dari PL? Dan [5] apakah kita dapat mereplikasi pendekatan-pendekatan eksegetis tersebut terhadap teks-teks PL?

Walter Kaiser, Jr., mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas di bawah label pendekatan “single meaning, unified referents”. Menurut Kaiser, para penulis PB menggunakan teks-teks PL benar-benar sesuai konteksnya. Tidak ada gap antara makna dan referensi dari kutipan-kutipan PL yang terdapat dalam PB. Singkatnya, totally continuity, demikian istilah saya, merupakan gagasan kunci untuk posisi Kaiser.  Darrell L. Bock, setuju dengan Kaiser bahwa para penulis PB tidak menambahkan makna baru terhadap teks-teks PL yang mereka kutip, hanya saja ia berbeda dengan Kaiser mengenai referensi dan konteksnya. Menurut Bock, para penulis PB menggunakan teks-teks PL dalam konteks dan referensi yang berbeda. Itulah sebabnya, ia melabeli posisinya dengan “Single meaning, multiple contexts and referents”. Peter Enns secara total menolak posisi Kaiser, namun “menghargai” sebagaian pandangan Bock, khususnya ketika Bock memberi perhatian terhadap pendekatan-pendekatan eksegetis Yudaisme Intertestamental. Menurut Enns, dua hal yang menjadi pokok penentu untuk memahami kutipan-kutipan PL dalam PB adalah [1] presuposisi mereka, yaitu mereka mendekati PL dari lensa Kristotelik – lensa post-resurrection faith. Para penulis PB tidak “menemukan” Kristus karena mengeksegesis PL, sebaliknya mereka menemukan Kristus kemudian membaca PL berdasarkan iman mereka kepada Kristus; [2] para penulis PB hidup dalam komunitas interpretif Yudaisme Intertestamental dan mereka memanfaatkan metode-metode eksegetis ini dalam mengomentari teks-teks PL yang mereka kutip.

Selain mempresentasikan posisi mereka, setiap partisipan juga diberi kesempatan untuk memberikan respons terhadap posisi dari setiap lawan debat mereka. Dan perlu ditambahkan pula bahwa setiap partisipan mendiskusikan teks-teks tertentu dalam PB sebagai contoh kasus yang mendukung posisi mereka.

Mengakhiri buku ini, Kenneth Berding memberikan komentar rangkuman yang memuat ikhtisar pandangan dari ketiga partisipan di atas, sekaligus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan tantangan lanjutan terhadap posisi dari setiap partisipan. Bila pembaca tidak ingin bersusah payah memperhatikan detail pandangan ketiga partisipan tersebut, pembaca dapat langsung membaca ulasan ikhtisar ini.

Dalam hemat saya, buku ini sangat bermanfaat memberikan gambaran pengantar tentang kompleksitas pemahaman akan penggunaan PL dalam PB. Dan akan sangat bermanfaat, bila ada penerbit di Indonesia yang bersedia menjalin kerja sama dengan Zondervan untuk proyek penerjemahan buku ini ke dalam Bahasa Indonesia. Saya percaya, orang-orang Kristen di Indonesia akan mendapatkan manfaat besar dari buku ini.

Di sisi lain, ada beberapa komentar kritis yang saya pikirkan ketika membaca dan menganalisis isi buku ini. Secara umum, [1] judul buku ini dapat memberikan kesan yang keliru kepada pembaca awam seakan-akan diskusi mengenai penggunaan PL dalam PB hanya “diramaikan” oleh tiga pandangan ini saja. Padahal tidak demikian. Dalam buku terbaru yang saya tulis, yang di dalamnya terdapat diskusi mengenai penggunaan PL dalam PB, hingga tahun 2011 telah terdapat tidak kurang dari delapan pendekatan yang berbeda mengenai penafsiran terhadap penggunaan PL dalam PB. Sayang sekali, saya percaya para editor buku ini sadar akan hal ini, namun tidak memberikan komentar mengenai hal ini dalam pengantar maupun komentar ikhtisar-konklusif dari buku ini; [2] memang setiap partisipan mengajukan teks-teks tertentu sebagai contoh kasus yang mendukung posisi mereka masing-masing, namun bagi saya, untuk melihat similaritas dan perbedaan posisi mereka masing-masing secara lebih jelas, ada baiknya para editor menetapkan teks-teks kasus tersebut yang harus dianalisis berdasarkan pendekatan yang mereka anut. Secara khusus untuk setiap partisipan, saya melihat tendensi “all-or-nothing” dalam diskusi ini. Setiap partisipan seakan-akan menggunakan prinsip eliminasi terhadap posisi lawannya karena menurutnya pendekatannya lebih komprehensif. Bagi saya, tendensi ini tidak mengakomodasi diversitas kutipan-kutipan PL dalam PB. Ada bagian-bagian tertentu yang tidak bisa tidak harus dipandang sebagai prediksi langsung, mis. mengenai tempat kelahiran Mesias, yaitu di Betlehem. Dan ada bagian-bagian lain yang tidak dapat di anggap mewakili single meaning, unified referent atau pun sekadar mewakili single meaning, multiple contexts and referents, mis. penggunaan Hosea 11:1 dalam Matius 2:15 [teks ini adalah teks riset tesis Master of Theology saya]. Lebih bijaksana, bila setiap partisipan terbuka untuk melihat kegunaan dari pendekatan lawannya bergantung teks mana yang hendak ditafsirkan.

Meski demikian, bila harus memilih di antara ketiga pandangan dalam buku ini, saya lebih condong kepada pandangan Enns, walau tentu saja bukan tanpa pertimbangan kritis terhadapnya [sebagian kecil sudah saya singgung di atas].

Bagi para mahasiswa teologi, para hamba Tuhan, dan dosen teologi, membaca buku ini akan memberikan wawasan eksegetis yang baik sebagai basis pelayanan pastoral, mis. persiapan khotbah-khotbah yang di dalamnya mengandung kutipan dari PL. Tidak menutup kemungkinan juga, orang-orang Kristen secara umum akan mendapatkan manfaat besar, yaitu melaluinya mereka memupuk kesadaran untuk tidak sekadar menerima dan menelan, melainkan belajar untuk menganalisis dan mengevaluasi. Saya kira, poin terakhir ini belum menjadi kebiasaan menonjol dalam tubuh kekirstenan di Indonesia. Sayang sekali!

Tinjauan ini dibuat oleh: Deky Hidnas Yan Nggadas @2011. Weblog: dekynggadas.wordpress.com. Direblog dengan ijin dari peninjauSumber: Klik di sini.